Ibu kota Nigeria, Lagos, adalah rumah bagi komunitas yang luar biasa dan sangat kontras yang dikenal sebagai Makoko – sebuah perkampungan kumuh terapung yang dengan jelas mencerminkan ketahanan jiwa manusia dan konsekuensi mengerikan dari kemiskinan perkotaan. Di pemukiman perairan yang unik ini, Anda dapat menemukan segalanya dari rumah, pasar, bengkel, sekolah, bar yang semuanya terletak di atas Laguna Lagos.
Di balik keriuhan yang ditularkan melalui air di Makoko, terdapat kenyataan yang lebih pahit: air, sumber kehidupan yang penting tercemar oleh limbah dan polusi. Krisis lingkungan ini merupakan perjuangan sehari hari bagi warga yang terus menerus menghadapi ancaman penyakit yang ditularkan melalui air. Kurangnya fasilitas kebersihan yang memadai, menyebabkan banyak sampah dan limbah dari pemukiman padat penduduk berakhir langsung di laguna, sehingga menambah kesulitan untuk menjaga lingkungan hidup yang sehat.
Malaria merupakan penyakit yang paling banyak ditemui,
terutama pada musim hujan, tetapi ada juga wabah kolera, demam tifoid dan
penyakit apa pun yang ditularkan melalui air yang terkontaminasi.
Kemiskinan di Makoko sangat luas dan mendalam, Namun di
tengah kesulitan tersebut, semangat Makoko tetap bertahan, menghadirkan
pengalaman kehidupan yang mendalam dan kompleks di salah satu perkotaan paling
dinamis di Afrika.
Mari kita melakukan perjalanan ke Makoko, dan menjelajahi
bagaimana masyarakat hidup di daerah kumuh terapung terbesar di dunia.
Makoko, sering disebut sebagai Venesianya Afrika, adalah
tempat yang unik, dengan rumah rumah kayu yang bertengger di atas panggung, dan
sekelompok kano yang berfungsi sebagai alat transportasi utama.
Baca Juga: Ribuan Tahun Tinggal Di Atas Tebing, Menempuh Jalan mautuntuk Kembali Ke Desa
Hal ini sangat kontras dengan luasnya wilayah perkotaan di
Lagos, kota besar Nigeria yang terkenal dan berpenduduk sekitar 21 juta orang.
Asal usul Makoko dapat ditelusuri kembali ke akhir abad ke 19, Awalnya didirikan sebagai desa nelayan oleh
orang Egun dari negara tetangga di Afrika Barat, dan saat ini, Lagos
berpenduduk kurang dari 1 juta orang.
Kota Lagos telah mengalami pertumbuhan pesat karena beberapa
faktor yang menjadikannya sebagai salah satu kota terpadat dengan pertumbuhan
ekonomi yang pesat di Afrika.
Pelabuhannya merupakan salah satu pelabuhan terbesar di
Afrika, berfungsi sebagai pusat perdagangan dan logistik internasional,
sehingga semakin meningkatkan daya tariknya bagi dunia usaha. Selain itu, daya
tarik mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan standar hidup yang lebih tinggi
di Lagos, dibandingkan dengan banyak wilayah lain di Nigeria dan Afrika, telah
menyebabkan masuknya banyak orang dari daerah pedesaan dan kota kota kecil,
serta dari negara negara tetangga.
Baca Juga: 10 Bencana Alam Mengerikan Sepanjang Sejarah
Migrasi ini terus mendorong pertumbuhan populasi kota,
menciptakan budaya perkotaan yang bercampur, namun juga membebani infrastruktur
dan perumahan. Pesatnya pembangunan dan urbanisasi telah menyebabkan krisis
perumahan dengan permintaan yang jauh melebihi pasokan. Bagi banyak keluarga
dan individu berpenghasilan rendah, pilihan perumahan yang terjangkau sangatlah
langka.
Makoko menyediakan pilihan hidup yang lebih mudah secara
finansial bagi mereka yang tidak mampu menanggung tingginya biaya hidup di
wilayah yang lebih maju di Lagos.
Meskipun industri minyak dan keuangan telah membuat ribuan
warga Lagos menjadi kaya raya, tetapi faktanya ada seperlima dari 21 juta
penduduk kota ini hidup dalam kemiskinan, dan Makoko mewakili lapisan sosial
ekonomi terendah di lagos.
makoko Terletak di pinggiran Lagos Lagon, kawasan ini
memberikan penduduknya sumber perekonomian yang didominasi oleh perikanan.
Namun, kedekatannya dengan air juga menyebabkan masyarakat terkena bencana
banjir dan polusi, yang diperburuk dengan meluasnya jejak industri di kota ini.
Baca Juga: Bagaimana Kehidupan di Negara yang Paling Dekat denganBulan?
kawasan tersebut di kelilingi dengan medan yang tergenang
air, dan bangunan darurat yang didirikan di atas permukaan air, menggarisbawahi
kesulitan penduduk terhadap kondisi kehidupan mereka yang sulit, dengan rumah rumah
panggung dan bangunan yang dibangun dari bahan bahan bekas.
Jumlah pasti penduduk Makoko sulit ditentukan karena
sifatnya yang kumuh dan kurangnya data sensus formal. Perkiraannya sangat
bervariasi, namun diperkirakan populasinya bisa berkisar antara puluhan ribu
hingga sekitar 100.000 orang atau lebih.
Penghuni utamanya adalah orang Egun, yang berasal dari
negara tetangga yaitu Republik Benin, sejumlah besar penduduk Yoruba, serta
migran dari berbagai wilayah di Nigeria, dan negara negara Afrika Barat lainnya,
juga menetap disini.
Perpaduan budaya ini telah menciptakan komunitas
multibahasa, di mana Bahasa Egun, Yoruba, dan Prancis biasanya digunakan
bersama dengan bahasa Inggris.
Populasi Makoko terus bertambah seiring dengan semakin banyaknya orang yang pindah ke wilayah tersebut, hal ini disebabkan oleh dekatnya dengan peluang ekonomi di Lagos, meskipun kondisi pertumbuhan permukiman dan kurangnya perencanaan kota telah menimbulkan kesulitan.
Makoko tidak diakui oleh pemerintah Nigeria dan tidak ada di
peta mana pun. Ketidakhadiran ini membuat kepemilikan tanah, merencanakan
pembangunan infrastruktur, mengoptimalkan layanan masyarakat, dan mendukung
upaya pembangunan menjadi sangat sulit.
Populasi yang padat dan terbatasnya lahan mengakibatkan kondisi
kehidupan yang terlalu padat, sehingga keluarga sering kali berdesakan di ruang
yang kecil dan memiliki ventilasi udara yang buruk.
Keadaan ini, ditambah dengan fasilitas kebersihan yang tidak
memadai dan tergantung pada laguna untuk mata pencaharian dan pembuangan
limbah, telah memperburuk pencemaran lingkungan.
Saluran air kini terancam oleh kontaminasi limbah domestik,
kotoran manusia, dan limpasan industri, sehingga menimbulkan risiko kesehatan
yang serius bagi penduduk, dan melemahkan perekonomian perikanan tradisional.
Tidak ada lagi ikan di perairan gelap dekat rumah, Nelayan
berlayar lebih jauh ke laut untuk bisa menangkap ikan. Meskipun mengalami
pertumbuhan, Makoko masih tetap otonom dan mengembangkan peraturan dan struktur
pemerintahannya sendiri di luar kerangka peraturan formal di Lagos. Otonomi ini
memungkinkan masyarakat untuk melestarikan budayanya, dan beradaptasi dengan
kesulitan ekonomi di lingkungannya.
Namun, pada saat yang sama, hal ini juga menjadi duri di
mata pemerintah dan hambatan terhadap citra modern yang ingin diproyeksikan
oleh Lagos. Persepsi ini telah menyebabkan banyak konflik selama bertahun
tahun, dimana pemerintah melakukan beberapa upaya untuk mengusir penduduk dan
menghancurkan rumah rumah, dengan alasan masalah lingkungan dan perlunya
pembangunankembali perkotaan.
Salah satu konfrontasi paling keras terjadi pada tahun 2012,
ketika pemerintah Negara Bagian Lagos mengeluarkan pemberitahuan penggusuran
selama 72 jam kepada penduduk Makoko. Tindakan ini dibenarkan oleh pemerintah
sebagai tindakan yang diperlukan untuk merebut kembali tepi laut, untuk proyek
pembangunan yang bertujuan mengubah Lagos menjadi kota besar.
Pemerintah datang bersama polisi dan tentara untuk
mengevakuasi masyarakat dan menghancurkan rumah mereka. Masyarakat Makoko
mencoba melawan, dan seorang tokoh masyarakat, Timothy Hunpoyanwha, ditembak
mati oleh polisi yang menyebabkan pihak berwenang menghentikan proses
penggusuran, dan saat itu, 30.000 orang kehilangan tempat tinggal.
Hal ini memicu kecaman lokal dan internasional atas
pelanggaran hak asasi manusia dan kurangnya pemberitahuan atau kompensasi yang
memadai. Hingga saat ini, penduduk Makoko masih hidup dalam ketakutan bahwa
suatu saat, entah dari mana, rumah mereka akan hancur total, Mereka tidak bisa
bergantung pada pemerintah dalam hal apa pun.
Faktanya, ketika terjadi kebakaran besar di Makoko beberapa
tahun lalu, yang diyakini banyak orang bukan sebuah kecelakaan, warga
melaporkan bahwa pemerintah sengaja menunda unit darurat yang seharusnya
memadamkan api. Akibat bangunan rumah yang terbuat dari kayu dan semua rumah
saling terhubung, kebakaran tersebut menyebabkan kerusakan yang cukup parah.
Rumah rumah di Makoko sebagian besar dibangun di atas
panggung, dengan metode yang disesuaikan dengan kondisi daerah yang tergenang
air. Teknik ini tidak hanya meminimalkan resiko banjir, tetapi juga
mengoptimalkan keterbatasan ruang yang tersedia, sehingga menyebabkan
terjadinya pola permukiman padat seperti yang terjadi di makoko.
Tumpukan kayu, yang bersumber dari kayu bakau yang ada,
ditancapkan jauh ke dasar laguna yang lunak dan berlumpur. Tiang pancang ini
berfungsi sebagai penopang utama rumah, dengan ketahanannya terhadap
pembusukan, sehingga menjadi pilihan utama sebagai bahan yang ideal untuk
konstruksi di lingkungan yang penuh kesulitan.
Kedalaman laguna bervariasi, tergantung pada kedekatannya
dengan pantai dan kedalaman air, namun prinsipnya tetap sama, untuk menyediakan
dasar yang kuat yang dapat bertahan terhadap pergerakan pasang surut laguna dan
angin kencang.
Di bagian atas rumah panggung ini, lantainya dibuat
menggunakan kombinasi papan kayu dan bambu, karena bahan bahan ini sangat tahan
dan menghemat biaya.
Tata letak rumah di Makoko erat kaitannya dengan struktur
sosial dan kekeluargaan masyarakat. Rumahsering kali berbentuk sama, dengan
ruang yang dimanfaatkan secara efisien untuk menampung keluarga besar
denganRuang keluarga bersifat multifungsi, sebagai area memasak dan tidur.
Jembatan kayu dan jalan setapak dibangun untuk menghubungkan
rumah satu sama lain dan dengan jalur utama masyarakat.
Tetapi tidak semua wilayah Makoko berada di atas air, sebagian besar berpusat di daratan dengan jalan dan gang sempit yang padat, diapit oleh bangunan yang terbuat dari berbagai bahan, mulai dari kayu dan lembaran logam hingga balok beton. Selama bertahun tahun, metode pembangunan rumah di Makoko telah berkembang, menggabungkan teknik tradisional dan inovasi modern.
Beberapa bangunan baru dibangun dengan fondasi beton, dan
penggunaan botol plastik serta bahan sampah yang tidak bisa di urai oleh proses
biologi.
Laki laki dan perempuan, kadang kadang bahkan anak anak
berangkat pagi pagi dengan kano mereka, memasang jaring dan tali ke perairan
keruh laguna.
Hasil tangkapan sehari hari berupa berbagai macam ikan dan
terkadang kerang, tidak hanya untuk konsumsi pribadi tetapi juga menjadi sumber
pendapatan utama bagi banyak keluarga. Ikan ikan tersebut dijual langsung dari
perahu atau di pasar terapung yang merupakan pusat kegiatan masyarakat.
Pasar pasar ini, yang ramai dengan pedagang dan pembeli,
menggarisbawahi semangat ekonomi yang tumbuh subur bahkan dalam lingkungan yang
penuh kesulitan.
Selain memancing, penduduk Makoko juga melakukan berbagai
kegiatan ekonomi lainnya, Perempuan mempunyai peran dalam perekonomian
masyarakat dengan berjualan di pasar, atau terlibat dalam pengolahan hasil
tangkapan ikan melalui pengasapan atau pengeringan.
Hal ini tidak hanya menambah nilai pada ikan mentah tetapi
juga memastikan, bahwa kelebihan tangkapan dapat disimpan untuk dijual di pasar
pada hari hari ketika jumlah ikan berkurang.
Pasar ini merupakan mikrokosmos perekonomian Makoko, yang
menyediakan segalanya, mulai dari kebutuhan sehari hari hingga barang barang
produk lokal. Di sini, kita dapat menemukan pedagang yang menjual sayuran,
peralatan rumah tangga, dan kerajinan tradisional yang tersebar di atas kano.
Kecerdasan warga Makoko terlihat dari adaptasi mereka
terhadap keterbatasan ruang dan sumber daya. Bengkel pembuatan dan perbaikan
perahu tersebar di tepi perairan, Bengkel bengkel ini tidak hanya melayani
masyarakat setempat tetapi juga memasok kano ke wilayah lain di Lagos.
Semua air bersih di Makoko berasal dari lubang bor atau
keran di daratan. Masyarakat Makoko, yang melihat bahwa tidak ada cara untuk
mendapatkan apa pun dari pihak berwenang, pada tahun 2009 berorganisasi untuk
mendirikan sekolah, listrik, beberapa titik air minum, dan sebuah klinik kecil.
Sejumlah lembaga pembangunan asing juga membantu membangun
atau memperbaiki keadaan di Makoko. Sekolah Terapung Makoko adalah proyek
arsitektur perintis yang menarik perhatian internasional, karena pendekatan
inovatifnya terhadap pendidikan di lingkungan Makoko yang penuh kesulitan.
sekolah ini dirancang sebagai solusi terhadap permasalahan
mendesak seperti banjir, dan kurangnya infrastruktur pendidikan di Makoko.
Bangunan terapung ini bukan sekedar sekolah, tetapi juga
simbol harapan mewujudkan potensi pembangunan perkotaan berkelanjutan di
wilayah pesisir dan rawan banjir.
Bangunan ini Dibangun dari bahan seperti bambu dan kayu
serta tong plastik daur ulang, dirancang untuk beradaptasi dengan naik turunnya
air pasang di Laguna Lagos, dan memiliki ventilasi serta pencahayaan alami,
sehingga menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
Sekolah tersebut dapat menampung hingga 100 siswa,
menyediakan pendidikan dasar kepada anak anak Makoko, yang banyak di antaranya
memiliki kesempatan terbatas terhadap sekolah formal.
Satu masalah besar yang belum berhasil diatasi oleh Makoko
dengan baik adalah pembuangan limbah. Ada banyak sampah plastik di dalam air,
Kurangnya rencana untuk menangani sampah bukanlah hal yang aneh bagi Makoko,
dan Hal ini juga selalu terjadi di banyak kota di Afrika, di mana pemerintahnya
gagal.
kejahatan jarang terjadi di Makoko, Ada aturan ketat bagi
mereka yang melakukan kejahatan, Misalnya, jika seseorang ketahuan mencuri, dia
akan ditempatkan di atas kano dan dipamerkan di seluruh desa, sehingga semua
orang mengetahui bahwa dia adalah seorang pencuri, setelah itu, dia diusir dari
perkampungan itu.
Cara hidup yang unik dan arsitektur terapung Makoko telah
menarik minat wisatawan dan pengunjung yang ingin mendapatkan pengalaman
pribadi, dan menyaksikan secara langsung realitas kehidupan di daerah kumuh
terapung.
Tur berpemandu, kebanyakan dipimpin oleh penduduk setempat, memberikan gambaran sekilas tentang kehidupan sehari hari penduduk Makoko, dan menunjukkan kemampuan adaptasi masyarakat terhadap lingkungan perairannya.
Tur ini dapat memberikan wawasan mengenai kesulitan yang dihadapi masyarakat, termasuk isu isu kelestarian lingkungan, pendidikan, dan kesehatan.
Bagi banyak pengunjung, pengalaman ini membuka mata mengenai
kemiskinan dan cara bertahan hidup, dan dari sudut pandang Makoko, pariwisata
memberikan keuntungan ekonomi, sebagai sumber pendapatan bagi pemandu lokal,
dan berkontribusi terhadap perekonomian setempat melalui pembelian kerajinan
tangan, makanan, dan barang lainnya.
Di sisi lain, masuknya wisatawan ke Makoko menimbulkan
kekhawatiran akan adanya komodifikasi kemiskinan dan potensi voyeurisme.
Pertimbangan etis dari pariwisata kumuh masih menjadi bahan perdebatan dengan
para kritikus yang berpendapat, bahwa hal tersebut beresiko mengeksploitasi
kesulitan masyarakat untuk mendapatkan hiburan.
Baca Juga: Ribuan Tahun Tinggal Di Atas Tebing, Menempuh Jalan mautuntuk Kembali Ke Desa
Ada garis tipis antara menumbuhkan pemahaman dan empati di
antara pengunjung, dan mereduksi realitas kehidupan yang kompleks di Makoko
menjadi sebuah tontonan.
Pemukiman unik ini, yang mengapung di perairan Laguna Lagos,
merangkum kompleksitas kelangsungan hidup dan adaptasi di salah satu perkotaan
paling dinamis di Afrika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar